info@antaresenergi.com

Pesisir Tanpa Hutan Bakau? Bahaya ini Akan Terjadi

by | Oct 17, 2025

Hutan bakau sering disebut sebagai sabuk alami laut karena mampu memecah gelombang dan mencegah abrasi pantai. 

Tapi peran bakau nggak cuma itu, hutan ini juga jadi rumah bagi banyak biota laut serta menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.

Sayangnya, banyak hutan bakau kini rusak akibat penebangan, pencemaran, dan alih fungsi lahan tanpa ada upaya pemulihan yang cukup. Akibatnya, luas hutan bakau dapat berkurang dari tahun ke tahun. 

Nah, pernah kebayang apa yang akan terjadi kalau hutan bakau benar-benar hilang? Apakah tanggul buatan bisa menggantikan perannya?

Yuk, kita bahas satu per satu apa saja yang bisa terjadi kalau pesisir kehilangan bakau.

Yang Terjadi Jika Bakau Rusak

Kalau hutan bakau di pesisir rusak atau bahkan hilang sama sekali, dampaknya bakal terasa besar. Bukan hanya di laut, tapi juga di darat. 

Mulai dari rusaknya ekosistem laut, banjir rob yang makin parah, sampai daratan yang perlahan menghilang. Inilah yang akan terjadi jika hutan bakau dibiarkan rusak:

Udara Terasa Kotor

Udara Berpolusi

Kerusakan hutan bakau memiliki dampak serius pada kualitas udara di sekitar pesisir.

Tanpa disadari, hutan bakau punya peran penting sebagai penyaring udara alami. Daun dan akarnya mampu menyerap gas karbon dioksida serta polutan dari aktivitas manusia, seperti asap kendaraan, pabrik, atau kapal nelayan.

Nah, ketika hutan bakau rusak atau bahkan hilang, penyaring udara alami itu juga ikut lenyap. Akibatnya, gas polusi yang seharusnya terserap malah menumpuk di atmosfer pesisir. Udara di sekitar pantai pun jadi terasa lebih panas, pengap, dan kotor.

Kalau udara terasa kotor di area pesisir, dampaknya akan terasa kepada kesehatan manusia. Soalnya, udara yang kita hirup bukan lagi udara segar, melainkan udara tercemar yang dapat memicu berbagai gangguan pernapasan dan membuat tubuh lebih mudah sakit.

Meningkatkan Pemanasan Global

pemanasan global

Ketika udara di kawasan pesisir menjadi kotor dan hutan bakau yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon rusak, otomatis gas karbon dioksida akan menumpuk di atmosfer. 

Padahal, karbon dioksida ini termasuk salah satu gas rumah kaca utama yang memperparah pemanasan global.

Sederhananya, saat hutan bakau hilang, kemampuan alam untuk menyeimbangkan kadar gas di udara juga ikut menghilang. 

Akibatnya, panas matahari yang seharusnya bisa dipantulkan kembali ke luar angkasa justru terperangkap di atmosfer bumi.

Inilah yang membuat suhu udara terasa lebih panas dari biasanya, bahkan angin yang biasanya sejuk pun bisa berubah menjadi hangat dan pengap.

Memperparah Gelombang Laut

gelombang laut tinggi

Gelombang laut sebenarnya terjadi karena faktor alami, seperti air pasang dan tiupan angin laut. Namun ketika hutan bakau di pesisir rusak atau bahkan hilang, dampaknya bisa jauh lebih parah.

Kenapa bisa begitu? Begini penjelasannya.

Saat gelombang laut terbentuk, air membawa tenaga besar yang bisa menghantam apapun di depannya.

Di sinilah peran penting hutan bakau. Akar dan batang pohonnya yang kuat mampu memperlambat laju air laut, sehingga energi gelombang berkurang sebelum mencapai daratan. Jadi, begitu gelombang laut sampai di area pesisir, gelombang akan tenang dan tidak menimbulkan kerusakan besar.

Tapi ketika hutan bakau hilang, tidak ada lagi penghalang alami yang menahan laju gelombang. Air laut pun langsung menghantam daratan dengan kekuatan penuh. Genangan air jadi lebih tinggi dan luas, bahkan mempercepat abrasi pantai yang bisa membuat daratan makin terkikis.

Dalam kondisi cuaca ekstrem sekalipun, hutan bakau masih bisa berperan sebagai penahan sementara debit air, meski tidak sepenuhnya. 

Karena itu, tanpa keberadaan hutan bakau, kawasan pesisir menjadi jauh lebih rentan terhadap gelombang tinggi, banjir, dan abrasi.

Daratan menghilang

abrasi laut

Setelah hutan bakau rusak, gelombang laut yang seharusnya diredam oleh akar-akar bakau kini langsung menghantam daratan. Akibatnya, arus air menjadi jauh lebih kuat dan tinggi ketika mencapai pesisir. 

Kondisi ini mempercepat terjadinya abrasi pantai, yaitu proses terkikisnya daratan akibat hantaman gelombang laut yang terjadi terus-menerus.

Masalahnya, abrasi bukan hanya menggerus pasir pantai, tapi juga mengikis daratan sedikit demi sedikit. Rumah-rumah warga yang dulunya berada jauh dari bibir pantai bisa tiba-tiba menjadi sangat dekat, bahkan ada yang kini terendam air laut saat pasang naik.

rumah terkena abrasi
Sumber: KOMPAS.COM/NUR-ZAIDI

Kenyataan ini bukan sekadar ancaman kecil. Berdasarkan informasi Mongabay tahun 2021, wilayah pesisir Jawa Tengah telah kehilangan sekitar 7.957 hektar daratan akibat abrasi. Bayangkan, area seluas itu hilang hanya karena tidak ada lagi perlindungan alami dari hutan bakau.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, garis pantai akan terus bergeser ke arah daratan, membuat wilayah pesisir semakin sempit dan berisiko tinggi bagi warga yang tinggal di sekitarnya. 

Bisa-bisa bukan hanya lahan yang hilang, melainkan juga tempat tinggal dan sumber penghidupan masyarakat pesisir akan menghilang.

Tidak Ada Peredam Tsunami

Tahukah anda, efek destruktif tsunami sebenarnya bisa diredam oleh hutan bakau? Mangrove sering disebut sebagai benteng alami pesisir karena mampu melindungi daratan dari hantaman gelombang besar, termasuk tsunami.

Saat gelombang tsunami datang, energi air laut akan terlebih dahulu dihantamkan ke barisan pohon bakau. 

Akar dan batang bakau yang rapat berfungsi memperlambat laju air, sehingga kekuatan gelombang yang sampai ke daratan menjadi jauh lebih kecil. 

Memang, daya redamnya tergantung pada kepadatan, luas area, dan jenis vegetasi mangrove, tapi keberadaannya bisa mengurangi dampak kerusakan di wilayah pesisir.

Baca Juga: Bakau Bisa Cegah Tsunami? Cek Faktanya Disini!

Namun, jika hutan bakau rusak atau hilang, tidak ada lagi penghalang alami yang mampu menahan kekuatan tsunami. 

Akibatnya, gelombang besar akan langsung menghantam daratan dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. 

Bayangkan tanpa ada barisan bakau di garis pantai, energi besar dari tsunami bisa langsung meratakan permukiman, lahan dan ekosistem pesisir dalam waktu singkat.

Ekosistem Menjadi Rusak

Selain berfungsi sebagai pelindung alami, hutan bakau juga menjadi rumah bagi berbagai makhluk hidup di sekitarnya. Saat hutan bakau rusak, ekosistem yang ada di dalamnya ikut terganggu bahkan bisa hancur.

Akar bakau yang rapat sering dimanfaatkan oleh hewan laut seperti ikan kecil, kepiting, udang, dan kerang sebagai tempat berkembang biak dan berlindung dari predator. Karena itu, hutan bakau sering disebut sebagai “tempat asuhan” atau nursery ground bagi biota laut.

Tak hanya itu, burung-burung laut juga menjadikan kawasan bakau sebagai tempat bersarang dan mencari makan. Lingkungan yang tenang dan kaya sumber daya membuat mangrove menjadi rumah bagi dua dunia sekaligus.

Namun ketika hutan bakau rusak, semua kehidupan di dalamnya ikut terancam. Populasi ikan menurun, burung kehilangan tempat singgah, dan keseimbangan ekosistem pesisir pun terganggu. 

Dampaknya juga dirasakan manusia. Nelayan yang biasanya menggantungkan hidup dari hasil tangkapan di sekitar hutan bakau akan kesulitan mencari ikan, dan penghasilannya ikut berkurang.

Artinya, kerusakan hutan bakau tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga mengganggu kehidupan manusia yang bergantung pada hutan bakau.

Dampak Negatif Kepada Nelayan

Selama ini, saat hutan bakau rusak, yang sering kita dengar mungkin soal pemanasan global, abrasi pantai, atau rusaknya ekosistem laut. Tapi sebenarnya, dampak terbesarnya juga dirasakan langsung oleh warga pesisir yang menggantungkan hidup dari laut, terutama para nelayan.

Hutan bakau yang hilang bukan cuma berarti hilangnya rumah bagi hewan laut, tapi juga hilangnya sumber penghidupan bagi manusia. Tanpa mangrove, populasi kepiting, ikan, dan udang di sekitar pesisir menurun drastis.

Menurut informasi dari jateng.brantaspos.com tahun 2025, nelayan di Demak kini mengalami krisis akibat mangrove yang hilang. Jika dulu mereka bisa dengan mudah mendapatkan 15 kilogram kepiting, kini setengah kilo pun sulit didapat.

Artinya, kerusakan hutan bakau bukan hanya merusak alam, tapi juga memukul ekonomi masyarakat pesisir. Alam yang rusak pada akhirnya akan kembali memberikan dampak buruk bagi manusia itu sendiri.

Saatnya Jaga Sabuk Hijau Laut Kita

Dari udara yang makin panas, abrasi yang meluas, hingga hilangnya sumber penghidupan nelayan, semuanya berawal dari satu hal yaitu rusaknya hutan bakau.

Hutan bakau bukan sekadar pohon di tepi pantai yang memperindah pemandangan, tapi juga pelindung alami daratan yang menjaga keseimbangan antara laut dan darat.

Pemulihan hutan mangrove memang tidak bisa dilakukan dalam sehari. Tapi selama dilakukan dengan konsisten, hasilnya akan berdampak besar bagi lingkungan dan masyarakat. 

Langkah sederhana seperti ikut program penanaman mangrove, atau sekadar menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya bakau, sudah menjadi awal perubahan yang besar.

Karena menjaga hutan bakau bukan hanya soal melestarikan alam, tetapi juga menjaga kehidupan manusia di masa depan.

Bagikan Artikel Kami

Ikuti Kami

Artikel Lainnya